Jumat, 09 Maret 2012

LATAR BELAKANG KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA



Pertimbangan utama suatu negara mengoptimalkan peran investasi baik asing maupun dalam negeri adalah untuk merubah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Peran investasi tidak hanya sebagai alternatif terbaik sumber pembiayaan pembangunan apabila dibandingkan dengan pinjaman luar negeri, tetapi juga sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi suatu negara kedalam ekonomi global. Di samping itu, investasi dapat menghasilkan multiplayer effect terhadap pembangunan ekonomi nasional, karena kegiatan investasi tidak saja mentransfer modal dan barang, tetapi juga mentransfer ilmu pengetahuan dan modal sumber daya manusia3, memperluas lapangan kerja, mengembangkan industri substitusi impor untuk menghemat devisa, mendorong ekspor non migas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi, membangun prasarana, dan mengembangkan daerah tertinggal. Oleh karena itu banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, yang menjadikan kegiatan investasi sebagai bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasionalnya.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7.9% hingga 2009 yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia menjadikan peran investasi menjadi kian penting, mengingat tingkat konsumsi dalam negeri saat ini tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup.  Hal ini jelas memberikan tekanan kepada Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi baru, khususnya dari luar negeri, guna menutup kekurangan.
Untuk mengundang minat investor berinvestasi bukanlah hal yang semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan upaya yang serius, sistimatik, terintegrasi dan konsisten untuk menanamkan kepecayaan investor menanamkan modalnya di wilayah host country. Bagaimana pun juga harus diingat bahwa pertimbangan investor sebelum menanamkan modal selalu dilandasi motivasi ekonomi untuk menghasilkan keuntungan dari modal dan seluruh sumber daya yang dipergunakannya. Oleh karena itu, investor selalu melakukan kajian awal (feasibility study) baik terhadap aspek ekonomi, politik dan aspek hukum sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi untuk memastikan keamanan investasi yang akan dilakukannya. Terkait hal ini, setidak-tidaknya calon investor akan mempertimbangkan aspek economic opportunity, political stability dan legal certainty. Ketiga aspek ini pulalah yang menjadi syarat mutlak yang harus ada pada host country agar menarik bagi calon investor.
Cukup banyak analisis dan publikasi-publikasi tentang kondisi iklim investasi di Indonesia yang pada umumnya bermuara pada suatu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan tentang kondusifitas berinvestasi di Indonesia. Djisman S. Simanjuntak misalnya menyoroti gangguan keamanan, amuk penjarahan, ketidakpastian hukum, korupsi dan perselisihan perburuhan bergabung untuk memudarkan daya tarik Indonesia ketika di tempat-tempat lain muncul lokasi-lokasi yang bersinar cerah, khususnya Cina yang bersaing dengan Indonesia dalam kelompok-kelompok industri yang sama atau mirip. Pandangan lain disampaikan oleh Todung Mulya Lubis yang menyatakan bahwa selain kurang memadainya infrastruktur investasi, maka hambatan utama investasi di Indonesia adalah masalah kepastian hukum. Dikatakan bahwa pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar modal internasional dan atas arus modal langsung. Masih terkait dengan masalah kepastian hukum, Mc. Cawley menggambarkan kondisi kepastian hukum investasi di Indonesia sebagai berikut :

“Tiap regulasi sepertinya menimbulkan regulasi uraian yang lain sehingga pada akhirnya para pejabat rendah di kantor-kantor daerah dan pelabuhan merasa bebas-bahkan harus- menetapkan hal yang samara-samar dengan mengeluarkan regulasinya sendiri. Situasi yang biasanya tidak memuaskan ini sering kali dicampuri dengan tendensi pejabat senior untuk menerobos semua pita merah dan kelambatan dengan memberikan pembebasan dari peraturan atau dengan membuat keputusan umum sebagai undang-undang “yang dikehendaki”. Ketika ini terjadi seringkali tidak jelas apakah mereka mengungkapkan pernyataan mereka sendiri atau benar-benar menerapkan peraturan pemerintah.”

Pemerintah cukup memahami kondisi iklim investasi tersebut dan telah melakukan upaya-upaya kearah perbaikan. Bahkan upaya yang terakhir dilakukan cukup fundamental yakni dengan mengeluarkan undang-undang yang baru, UU No. 25 Tahun 2007, untuk menggantikan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri karena dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal.12 Pasal 3 UU ini secara pasti mencantumkan asas kepastian hukum pada urutan pertama dari 10 asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Hadirnya UU penanaman modal yang baru dengan paradigma baru merupakan langkah maju yang cukup signifikan dalam menarik minat investor. Namun meskipun demikian kehadiran UU No. 25 Tahun 2007 tersebut tidak serta menjadikan seluruh permasalahan hukum bidang penanaman modal di Indonesia menjadi terselesaikan. Kegiatan penanaman modal bersifat sangat kompleks dan karenanya tidak hanya terkait dengan satu undang-undang saja. Hukum tentang penanaman modal tidak hanya terkait UU No. 25 Tahun 2007 dan peraturan pelaksananya, tetapi juga akan terkait dengan bidang hukum lain seperti hukum perpajakan, hukum ketenagakerjaan, hukum pertanahan, hukum perdagangan dan bidang hukum lain terkait transaksi bisnis baik berdimensi nasional maupun internasional. Kepastian hukum harus meliputi seluruh bidang hukum terkait penanaman modal tersebut dan penerapannnya dalam putusan-putusan badan peradilan di Indonesia. Dengan demikian kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian substansi hukum tetapi juga penerapannya dalam putusan-putusan badan peradilan.

 Sumber : SLIDE LATAR BELAKANG KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA oleh Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar