Banyak faktor yang mendorong para pelaku transaksi bisnis internasional memilih arbitrase, diantaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding dan karenanya cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai national character.Kedua alasan ini selalu menjadi pertimbangan pihak asing yang melakukan transaksi bisnis di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah pada aspek kepastian hukum, dan pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi nasionalisme sempit pada hakim pengadilan nasional .
Dalam sisitim hukum di Indonesia, karakteristik final and binding pada putusan arbitrase diakui secara imperative dalam Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, karena tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat sengketa transaksi bisnis internasional yang telah diputus oleh badan arbitrase, khususnya badan arbitrase internasional, justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan putusannya masih berlarut-larut yang berujung pada pencitraan lemahnya kepastian hukum di Indonesia.
Salah satu perkara yang sering menjadi referensi adalah sengketa antara Pertamina vs Karaha Bodas Company LLC dalam proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Karaha Bodas. Perkara yang diputus oleh Majelis Arbitrase Jenewa Swiss berdasarkan ketentuan Arbitrase UNCITRAL pada tanggal 18 Desember 2000 ini menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 266,166,654 dan berikut bunga 4 % pertahun karena Pertamina terbukti telah melanggar kewajiban yang seharusnya mereka penuhi sebagaimana tertuang dalam Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC).Pertamina melakukan upaya hukum melalui gugatan pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan Pertamina dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan selanjutnya memerintahkan KBC untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk eksekusi terhadap putusan Majelis Arbitrase Jenewa. Diterimanya gugatan pembatalan putusan Arbitrase Jenewa tersebut oleh PN Jakarta Pusat mengaburkan kepastian hukum. Pasal VI jo. Pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958 dengan tegas menyatakan bahwa pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah hanya pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dibuat. Dari segi kompetensi relative, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Pasal 72 dan Pasal 1 ayat (4) UU Arbitasr dikatakan bahwa pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. Oleh karenanya, jelas bahwa PN Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk menerima gugatan pembatalan putusan Arbitrase Jenewa, karena wilayah hukum PN Jakarta Pusat tidak meliputi tempat tinggal pemohon kasasi.
Satu hal yang juga menimbulkan pertanyaan adalah PN Jakarta Pusat menerima gugatan Pertamina sedangkan Putusan Majelis Arbitrase yang menjadi objek gugatan belum didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal dengan tegas Pasal 70 UU Arbitrase menyatakan suatu putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di pengadilan.
Terlepas dari adanya praduga bahwa perkara ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, politik dan faktor non yuris lainnya, ketidakpastian hukum yang tercermin dari putusan ini menunjukkan lemahnya pemahaman para “penegak keadilan” pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia. Seperti dikemukakan Prof. Priyatna Abdurrasyid dalam pernyataannya yang termuat dalam web-site hukum online, bahwa 99 % (sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia tidak memahami arbitrase.Data yang apabila benar sangat memprihatinkan. Disamping itu, masalah ini juga disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti : a. Masalah Penghormatan Terhadap Hukum Masalah ini adalah sangatlah sentral. Penaatan atau penghormatan terhadap hukum masih sangat tipis. Mind-set masyarakat terhadap hukum ini harus diubah secara bertahap, berhati-hati dan terencana. b. Kepastian Hukum Salah satu hal yang pasti mengenai hukum di Indonesia adalah ketidakpastian hukum. Masalah ini gawat, kalau darurat. Kasus-kasus yang tergolong besar yang melibatkan Indonesia di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian hukum ini. Sengketa-sengketa yang mendapat sorotan keras masyarakat internasional. c. Kultur Berperkara Masyarakat
Alm, Prof. Komar Kantaatmadja, melihat kultur masyarakat ini sebagai masalah cukup krusial dalam penyelesaian sengketa. Beliau mengemukakan 4 (empat) masalah kultur ini. Dua di antaranya yang utama adalah keengganan untuk tidak mau melaksanakan putusan arbitrase. Yang kedua adalah upaya untuk mengulur-ulur waktu sebagai taktik untuk tidak melaksanakan kewajibannya.Sengketa-sengketa mengenai pembatalan putusanputusan arbitrase asing (dan perlawanan terhadap putusan arbitrase domestik), yang acap timbul belakangan ini, mungkin dapat dipandang ke dalam cakupan kultur ini .
sumber :