Distribusi Perekonomian Indonesia
PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan dalam ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting keberadaan UKM (Berry, dkk, 2001). Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar. Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Alasan yang ketiga yang dikemukakan Berry dkk di atas sangat relevan dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi. Aspek fleksibilitas tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil studi Akatiga berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan Akatiga tersebut seperti dikutip Berry dkk (2001) adalah bahwa usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.
Sementara itu, berdasarkan data PDRB, krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut). Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah, hanya Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi. Pada tahun tersebut, seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).
Demikianlah, selain ekonominya mengalami kontraksi terparah, usaha kecil di propinsi-propinsi di pulau Jawa juga lebih menderita akibat krisis ekonomi. Sementara itu, menurut hasil analisis Watterberg, dkk (1999), dampak sosial dari krisis ekonomi amat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan di Jawa, serta sejumlah propinsi di Indonesia bagian Timur. Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya dimensi spasial dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.
Dalam konteks UKM, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dimunculkan adalah apakah krisis ekonomi betul-betul membawa pengaruh pada dinamika spasial UKM? Tulisan ini hanya mengamati salah satu aspek saja dari dinamika spasial UKM, yakni distribusi spasialnya. Dapat dikemukakan bahwa selama ini sejumlah studi sudah dilakukan untuk mengamati distribusi spasial industri manufaktur, khususnya yang berskala besar dan menengah, misalnya Azis (1994), Hill (1996), Kuncoro (2000a), Sjöberg dan Sjöholm (2002). Namun, pengamatan serupa terhadap UKM tampaknya masih belum banyak dilakukan (Kuncoro, 2000b).
BERTAHAN DENGAN UKM
Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan kalau pengangguran, hilangnya penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi. Hasil survei yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 1998) menegaskan bahwa ketiga persoalan itu oleh masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau harus segera mendapatkan penyelesaian (Watterberg dkk, 1999). Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.
Kondisi ketenagakerjaan pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi (Tabel 1). Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1. Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.
Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi. Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi (Kompas. 14/12/2001). Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru. Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya dalam meminimalkan dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.
UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal. Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan. Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar? Bukan tidak mungkin produk-produk UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika demikian halnya maka kecenderungan tersebut sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.
Data UKM tersebut bersumber dari publikasi BPS berjudul Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia tahun 1998 dan tahun 2000.Hasil survei tersebut hanya mencakup UKM non-pertanian yang tidak berbadan hukum sehingga secara konseptual hasil survei tersebut juga merefleksikan sektor informal kendati secara terbatas (www.bps.go.id). Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka data yang ada di sini barangkali pula lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Perlu ditambahkan bahwa pada tahun 1997 tidak ada survei. Selain itu, untuk tahun 1999 dan 2000 tidak ada data untuk Propinsi Maluku. Selanjutnya, yang dimaksud dengan UKM dalam tulisan ini adalah sebagaimana definisi UKM tersebut.
Secara umum, hasil survei BPS di atas menunjukkan beberapa kecenderungan menarik. Dari gambar 1 tampak bahwa jumlah unit usaha UKM cenderung berkurang. Jumlah unit usaha pada tahun 2000 masih tetap lebih sedikit dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah tenaga kerja. Hanya saja, penurunan jumlah tenaga kerja tidaklah setajam penurunan jumlah unit usaha. Oleh karena itu, tenaga kerja yang diserap oleh masing-masing unit usaha secara rata-rata justru mengalami kenaikan. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa UKM sebetulnya juga mempunyai keunggulan dalam menyerap tenaga kerja di masa krisis ekonomi. Krisis ekonomi rupanya telah mempertinggi kemampuan masing-masing UKM untuk menyerap tenaga kerja. Dengan kata lain, sektor tersebut telah turut berperan dalam mengatasi persoalan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.
Data-data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa UKM memiliki kemampuan untuk menjadi pilar penting bagi perekonomian masyarakat dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi. Hal ini tidak lepas dari kemampuan UKM untuk merespon krisis ekonomi secara cepat dan fleksibel dibandingkan kemampuan usaha besar (Berry dkk, 2001). Namun demikian, ada pendapat bahwa sektor informal tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para pekerjanya. Hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Basri, 2002).
DISTRIBUSI SPASIAL UKM
Pertanyaan awal yang perlu diperjelas di sini adalah apa indikator UKM yang digunakan. UKM pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi sementara aktivitas ekonomi sendiri secara umum dapat diindikasikan oleh tenaga kerja maupun nilai tambahnya (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Dalam tulisan ini, indikator yang akan digunakan adalah tenaga kerja UKM disertai jumlah unit usahanya sebagai pelengkap.
Dalam konteks industri manufaktur, penggunaan tenaga kerja dan nilai tambah secara bersama-sama sebagai indikator aktivitas ekonomi dapat mencegah terjadi kesimpulan yang bias oleh karena perbedaan distribusi spasial dari industri-industri yang berbeda dimana ada yang bersifat padat tenaga kerja dan ada yang padat modal (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Namun dalam konteks UKM, bias itu mungkin tidak terlalu besar mengingat sebagian besar lebih mengandalkan tenaga kerja, termasuk yang tidak dibayar (lihat, Kuncoro, 2000a).
Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah, distribusi spasial UKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di Pulau Jawa. Pada tahun 1996, sekitar 66 persen UKM Indonesia berada di Jawa (Tabel 2). Sejak terjadi krisis ekonomi, UKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68 persen dari seluruh unit usaha UKM yang ada di Indonesia. Dari lima propinsi di Jawa, hanya DKI Jakarta saja yang cenderung mengalami penurunan andil, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung. Selain propinsi-propinsi Jawa, hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang andilnya dalam jumlah UKM cukup tinggi.
Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial tersebut tentu perlu pula dilihat dari sisi tenaga kerja. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66 persen pada tahun 2000. Sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16 persen pada tahun 2000.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat, perkembangan penyebaran regional dari UKM dapat dilihat dari konsentrasi spasialnya. Konsentrasi spasial di sini menunjuk kepada terkonsentrasinya UKM pada beberapa daerah saja. Sebagai contoh, dalam studinya yang mengukur trend konsentrasi spasial industri di Indonesia 1976-1995, Kuncoro menggunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2000a). Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser.
Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia. Masih menurut Kuncoro (2002b), dalam kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial industri manufaktur.
Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser terhadap data tenaga kerja maupun nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur. Kesimpulan yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Kuncoro. Dari analisisnya, Sjöberg dan Sjöholm memukan bahwa tingkat konsentrasi spasial industri manufaktur dalam kurun waktu 1980-1996 tidaklah berkurang. Ditambahkan pula bahwa liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1983 telah gagal menurunkan tingkat konsentrasi industri manufaktur.
Kendati ukuran konsentrasi spasial yang digunakan berbeda, kedua studi tersebut di atas memperoleh kesimpulan yang relatif serupa. Dalam tulisan ini ukuran konsentrasi spasial yang digunakan adalah indeks Herfindahl yang diterapkan baik terhadap data unit usaha maupun jumlah pekerja UKM. Hasil perhitungan indeks Herfindahl tersebut disajikan dalam Gambar 3.
Sebelum krisis, tingkat konsentrasi spasial unit usaha UKM adalah 0,126. Sebagai perbandingan, indeks Herfindahl industri manufaktur Indonesia tahun 1996 adalah 0,190 (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Hal ini tidak berubah banyak pada satu tahun setelah terjadi krisis ekonomi. Namun pada tahun 1999 konsentrasi spasial unit usaha UKM mengalami peningkatan cukup tinggi dan belum menurun secara berarti pada tahun 2000. Namun jika dilihat dari tenaga kerja, setelah krisis justru terjadi penurunan tingkat konsentrasi spasial kendati relatif kecil. Tahun 1999 dan 2000, indeks Herfindahl pekerja UKM meningkat menjadi lebih dari 0,12. Hal ini memberikan indikasi bahwa sejak terjadi krisis ekonomi, ada kecenderungan menguatnya konsentrasi spasial UKM di Indonesia. Kendati demikian, peningkatan konsentrasi spasial tersebut sebetulnya relatit tidak terlalu besar.
PENUTUP
Sejak terjadi krisis ekonomi 1997, UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Data yang ada menunjukkan bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati. Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2000, UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa, baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya konsentrasi spasial UKM tersebut sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Indikasi tersebut kiranya masih perlu dilengkapi dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika spasial UKM sebagaimana dilakukan dalam studi-studi terhadap idustri manufaktur pada umumnya.
DISTRIBUSI SPASIAL UKM DI MASA KRISIS EKONOMI
PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan dalam ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting keberadaan UKM (Berry, dkk, 2001). Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar. Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Alasan yang ketiga yang dikemukakan Berry dkk di atas sangat relevan dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi. Aspek fleksibilitas tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil studi Akatiga berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan Akatiga tersebut seperti dikutip Berry dkk (2001) adalah bahwa usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.
Sementara itu, berdasarkan data PDRB, krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut). Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah, hanya Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi. Pada tahun tersebut, seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).
Demikianlah, selain ekonominya mengalami kontraksi terparah, usaha kecil di propinsi-propinsi di pulau Jawa juga lebih menderita akibat krisis ekonomi. Sementara itu, menurut hasil analisis Watterberg, dkk (1999), dampak sosial dari krisis ekonomi amat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan di Jawa, serta sejumlah propinsi di Indonesia bagian Timur. Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya dimensi spasial dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.
Dalam konteks UKM, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dimunculkan adalah apakah krisis ekonomi betul-betul membawa pengaruh pada dinamika spasial UKM? Tulisan ini hanya mengamati salah satu aspek saja dari dinamika spasial UKM, yakni distribusi spasialnya. Dapat dikemukakan bahwa selama ini sejumlah studi sudah dilakukan untuk mengamati distribusi spasial industri manufaktur, khususnya yang berskala besar dan menengah, misalnya Azis (1994), Hill (1996), Kuncoro (2000a), Sjöberg dan Sjöholm (2002). Namun, pengamatan serupa terhadap UKM tampaknya masih belum banyak dilakukan (Kuncoro, 2000b).
BERTAHAN DENGAN UKM
Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan kalau pengangguran, hilangnya penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi. Hasil survei yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 1998) menegaskan bahwa ketiga persoalan itu oleh masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau harus segera mendapatkan penyelesaian (Watterberg dkk, 1999). Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.
Kondisi ketenagakerjaan pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi (Tabel 1). Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1. Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.
Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi. Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi (Kompas. 14/12/2001). Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru. Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya dalam meminimalkan dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.
UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal. Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan. Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar? Bukan tidak mungkin produk-produk UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika demikian halnya maka kecenderungan tersebut sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.
Data UKM tersebut bersumber dari publikasi BPS berjudul Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia tahun 1998 dan tahun 2000.Hasil survei tersebut hanya mencakup UKM non-pertanian yang tidak berbadan hukum sehingga secara konseptual hasil survei tersebut juga merefleksikan sektor informal kendati secara terbatas (www.bps.go.id). Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka data yang ada di sini barangkali pula lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Perlu ditambahkan bahwa pada tahun 1997 tidak ada survei. Selain itu, untuk tahun 1999 dan 2000 tidak ada data untuk Propinsi Maluku. Selanjutnya, yang dimaksud dengan UKM dalam tulisan ini adalah sebagaimana definisi UKM tersebut.
Secara umum, hasil survei BPS di atas menunjukkan beberapa kecenderungan menarik. Dari gambar 1 tampak bahwa jumlah unit usaha UKM cenderung berkurang. Jumlah unit usaha pada tahun 2000 masih tetap lebih sedikit dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah tenaga kerja. Hanya saja, penurunan jumlah tenaga kerja tidaklah setajam penurunan jumlah unit usaha. Oleh karena itu, tenaga kerja yang diserap oleh masing-masing unit usaha secara rata-rata justru mengalami kenaikan. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa UKM sebetulnya juga mempunyai keunggulan dalam menyerap tenaga kerja di masa krisis ekonomi. Krisis ekonomi rupanya telah mempertinggi kemampuan masing-masing UKM untuk menyerap tenaga kerja. Dengan kata lain, sektor tersebut telah turut berperan dalam mengatasi persoalan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.
Data-data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa UKM memiliki kemampuan untuk menjadi pilar penting bagi perekonomian masyarakat dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi. Hal ini tidak lepas dari kemampuan UKM untuk merespon krisis ekonomi secara cepat dan fleksibel dibandingkan kemampuan usaha besar (Berry dkk, 2001). Namun demikian, ada pendapat bahwa sektor informal tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para pekerjanya. Hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Basri, 2002).
DISTRIBUSI SPASIAL UKM
Pertanyaan awal yang perlu diperjelas di sini adalah apa indikator UKM yang digunakan. UKM pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi sementara aktivitas ekonomi sendiri secara umum dapat diindikasikan oleh tenaga kerja maupun nilai tambahnya (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Dalam tulisan ini, indikator yang akan digunakan adalah tenaga kerja UKM disertai jumlah unit usahanya sebagai pelengkap.
Dalam konteks industri manufaktur, penggunaan tenaga kerja dan nilai tambah secara bersama-sama sebagai indikator aktivitas ekonomi dapat mencegah terjadi kesimpulan yang bias oleh karena perbedaan distribusi spasial dari industri-industri yang berbeda dimana ada yang bersifat padat tenaga kerja dan ada yang padat modal (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Namun dalam konteks UKM, bias itu mungkin tidak terlalu besar mengingat sebagian besar lebih mengandalkan tenaga kerja, termasuk yang tidak dibayar (lihat, Kuncoro, 2000a).
Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah, distribusi spasial UKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di Pulau Jawa. Pada tahun 1996, sekitar 66 persen UKM Indonesia berada di Jawa (Tabel 2). Sejak terjadi krisis ekonomi, UKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68 persen dari seluruh unit usaha UKM yang ada di Indonesia. Dari lima propinsi di Jawa, hanya DKI Jakarta saja yang cenderung mengalami penurunan andil, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung. Selain propinsi-propinsi Jawa, hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang andilnya dalam jumlah UKM cukup tinggi.
Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial tersebut tentu perlu pula dilihat dari sisi tenaga kerja. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66 persen pada tahun 2000. Sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16 persen pada tahun 2000.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat, perkembangan penyebaran regional dari UKM dapat dilihat dari konsentrasi spasialnya. Konsentrasi spasial di sini menunjuk kepada terkonsentrasinya UKM pada beberapa daerah saja. Sebagai contoh, dalam studinya yang mengukur trend konsentrasi spasial industri di Indonesia 1976-1995, Kuncoro menggunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2000a). Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser.
Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia. Masih menurut Kuncoro (2002b), dalam kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial industri manufaktur.
Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser terhadap data tenaga kerja maupun nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur. Kesimpulan yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Kuncoro. Dari analisisnya, Sjöberg dan Sjöholm memukan bahwa tingkat konsentrasi spasial industri manufaktur dalam kurun waktu 1980-1996 tidaklah berkurang. Ditambahkan pula bahwa liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1983 telah gagal menurunkan tingkat konsentrasi industri manufaktur.
Kendati ukuran konsentrasi spasial yang digunakan berbeda, kedua studi tersebut di atas memperoleh kesimpulan yang relatif serupa. Dalam tulisan ini ukuran konsentrasi spasial yang digunakan adalah indeks Herfindahl yang diterapkan baik terhadap data unit usaha maupun jumlah pekerja UKM. Hasil perhitungan indeks Herfindahl tersebut disajikan dalam Gambar 3.
Sebelum krisis, tingkat konsentrasi spasial unit usaha UKM adalah 0,126. Sebagai perbandingan, indeks Herfindahl industri manufaktur Indonesia tahun 1996 adalah 0,190 (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Hal ini tidak berubah banyak pada satu tahun setelah terjadi krisis ekonomi. Namun pada tahun 1999 konsentrasi spasial unit usaha UKM mengalami peningkatan cukup tinggi dan belum menurun secara berarti pada tahun 2000. Namun jika dilihat dari tenaga kerja, setelah krisis justru terjadi penurunan tingkat konsentrasi spasial kendati relatif kecil. Tahun 1999 dan 2000, indeks Herfindahl pekerja UKM meningkat menjadi lebih dari 0,12. Hal ini memberikan indikasi bahwa sejak terjadi krisis ekonomi, ada kecenderungan menguatnya konsentrasi spasial UKM di Indonesia. Kendati demikian, peningkatan konsentrasi spasial tersebut sebetulnya relatit tidak terlalu besar.
PENUTUP
Sejak terjadi krisis ekonomi 1997, UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Data yang ada menunjukkan bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati. Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2000, UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa, baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya konsentrasi spasial UKM tersebut sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Indikasi tersebut kiranya masih perlu dilengkapi dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika spasial UKM sebagaimana dilakukan dalam studi-studi terhadap idustri manufaktur pada umumnya
kre4tif.wordpress.com
________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar