Jumat, 18 Maret 2011

tulisan bab 3

tulisan bab 3


Tugas Tulisan (februari)
-Kekayaan alam dan kemakmuran indonesia
Indonesia merupakan negara yang dipenuhi dengan kekayaan alam yang melimpah, lihat saja banyak orang luar yang berburu kekayaan alam yang melimpah di indonesia, tetapi apa yang dilakukan indonesia? indonesia membuang kesempatan emas untuk menjadi negara kaya di dunia, mengapa demikian? lihat saja berbagai SDA kita sebagian besar dikontrakkan kepada pengusaha dari luar negeri, padahal taukah anda jika kita sendiri yang mengolah itu maka negara kita pasti akan mendapatkan kekayaan yang melimpah dari hasil kekayaan alamnya.Tapi apa boleh buat mungkin pemikiran pemerintah berbeda soal ini, kita boleh menyumbangkan ide-ide kepada DPR tetapi ide kita pasti di pending atau bahkan bisa saja dijadikan isapan jempol belaka.
-Mata Pencaharian Masyarakat Indonesia Sekarang
Mata pencaharian masyarakat indonesia mungkin bisa di bilang masih banyak yang menjadi petani, bisa di bilang sebagian besar juga.Tetapi pemerintah kurang berkonsentrasi tentang mata pencaharian masyarakat kita ini, padahal jika pemerintah turut membantu banyak dalam hal ini bukan tidak mungkin indonesia akan menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia.Coba sekarang kita tenggok, beras saja import apa-apa import, lantas dari mana hasil yang ada di indonesia ini? coba kita renungkan bersama-sama hehehehe
-Kualitas SDM di indonesia
Kualitas sumber daya manusia masih menjadi persoalan utama dalam bidang pendidikan di Indonesia, baik di tingkat pendidikan tinggi maupun pendidikan dasar dan menengah. Dari sekitar 160.000 dosen yang ada di Indonesia, hampir 54 persennya masih belum S-2 dan S-3. Sementara guru, dari 2,7 juta guru, 1,5 juta di antaranya belum S-i.
Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Prof. Nizam yang ditemui seusai seminar pendidikan dalam rangka Education Festival yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Padjadjaran di Aula Unpad, Jln. Dipati Ukur Bandung, Kamis (11/2).
Menurut Nizam, pembenahan kualitas SDM ini memang bukan pekerjaan mudah. Waktu yang dibutuhkan juga tidak akan sebentar. “Banyak yang harus dibenahi, tetapi kita harus optimistis karena SDM adalah kunci utama. Kalau sistemnya bagus tetapi SDM-nya jelek percuma. Tetapi kalau SDM-nya bagus walaupun sistemnya kurang bagus bisa lebih baik,” katanya.
Nizam menuturkan, harus diakui bahwa daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lainnya di dunia bahkan di Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Global Competitiveness Report di tahun 2008, Indonesia berada di peringkat 55 sementara di tahun 2005 di peringkat 69.
“Jauh di bawah Singapura, Malaysia, Cina, dan Thailand. Singapura berada di peringkat ke-5 sementara Malaysia di peringkat 21 di tahun 2008,” ujarnya. Lebih lanjut Nizam menuturkan, pekerjaan rumah yang dihadapi pendidikan di Indonesia masih cukup besar. Dikti, menurut dia, tidak mungkin mengatur seluruh sistem dengan permasalahan yang kompleks dan besar tersebut.
“Perguruan tinggi juga harus sprint untuk mengejar ketinggalan secara terus-menerus serta fokus dalam pengembangan penelitian untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan membangun reputasi internasional,” ungkapnya. I ak dorong mandiri Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, praktisi pendidikan yang juga pengajar di Fakultas Psikologi Unpad, Hatta Ml in nl mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan beberapa kali terhadap anak didik, diperoleh kesimpulan, pendidikan di Indonesia tidak memberikan tempat untuk kemandirian serta kreativitas siswa. Metode yang digunakan selama ini hanya mengandalkan memori atau daya i-ngat siswa semata.
“Matematika hanya menghafalkan rumus, seharusnya memecahkan rumus. Bahasa hanya menghafalkan grammer, semestinya conversation. Akibatnya hampir tidak terlihat kegunaan dari pendidikan ini,” katanya. Oleh karena itu, menurut dia, orientasi pendidikan harus segera diubah. Sebab pendidikan selama ini hanya mementingkan produk, bukan proses yang sebenarnya jauh lebih penting. “Kita sudah coba ubah salah satunya dengan Sistem Kredit Semester di perguruan tinggi, tetapi tetap kalah dengan kekuatan kolektivitas yang sudah ada. Apalagi dasar di pendidikan sebelumnya sudah tertanam pola itu. Itulah sebabnya sejak awal saya tidak setuju dengan penjurusan di SMA. Karena siswa yang seharusnya tidak naik kelas justru diarahkan ke sosial budaya. Mereka kemudian masuk di jurusan sosial perguruan tinggi. Jadilah mereka hakim, jaksa, dan pengacara sekarang ini,” tuturnya. (A-157)***

tugas bab 2

tugas bab 2


// Dampak Repelita
Repelita terdiri dari 4 periode, tetapi saya hanya menjelaskan periode dimana terjadinya REPELITA 1
REPELITA atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah orde baru di Indonesia.
Periode 1969/1970- 1973/1974 Repelita I
Persoalan pokok yang dihadapi dalam periode ini adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilita ekonomi yang telah dapat dicapai.Semuanya ini untuk meningkatkan pendapatan riil masyarakat dan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk yang senantiasa meningkat. Dalam lingkup ini termasuk di dalamnya bagaimana meningkatkan pendapatan devisa , meningkatkan kemampuan untuk pembangunan ekonomi, mengubah struktur perekonomian agar tidak tergantung pada sektor pertanian, meningkatkan produksi nasional.
Untuk menghadapi persoalan pokok diatas pemerintah menyusun Rencana pembangunan Lima Tahun Pertama yang mencakup kurun waktu 1969/1970-1973/1974. Pedoman dan arah rencana ini adalah bertumpuan pada Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966. Dengan perkataan lain TAP MPRS tersebut dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pertama. Periode ini dikenal sebagai periode ekspansi ekonomi.
Strategi dasar Repelita I diarahkan pada pencapaian stabilitas nasional (ekonomi dan politik) dan pertumbuhan ekonomi. Strateginya dititikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang emnunjang sektor pertanian
Alasan dasar penekanan strategi Repelita I adalah bahwa sebagai kelanjutan langkah-langkah pemerintah orde baru, sejumlah ketetapan yang bersifat prinsipiil telah dihasilkan dalam sidang MPRS tahun 1966 tentang pembaruan dibidang ekonomi dan pembangunan (TAP MPRS No. XXIII/MPRS/1966). Tugas utama Orde Baru adalah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi kearah yang wajar.Untuk melaksanakan tugas itu program jangka pendek diarahkan pada pengendalian inflasi, rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi dan pencukupan sandang yang telah dilakukan. Dan dirasakan cukup berhasil, khususnya dalam hal pengendalian inflasi. Setelah perekonomian dapat stabil maka ekspansi ekonomi sebagai cerminan pembangunan ekonomi dilakukan melalui tahap-tahap atau perencanaan tertentu.
Penekanan pada sektor pertanian dipilih karena sebagian besar penduduk Indonesian (80%) tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian memeberi sumbangan terbesar baik bagi penerimaan devisa maupun dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Lebih dari itu sektor pertanian yang merupakan sumber bahan baku bagi sektor industri perlu diamankan terlebih dahulu.Penekanan kegiatan pada sektor pertanian juga dilandasi pada kenyataan bahwa Indonesia yang dikenal memiliki alam yang subur itu masij juga mengimpor beras yang berarti memboroskan devisa. dengan demikian, Repelita I menetapkan sektor pertanian sebagai leading sector pembangunan ekonomi di Indonesia yang diharapkan akan mampu menarik dan mendorong sektor-sektor kegiatan ekonomi lainnya, khususnya sektor industri yang enunjang sektor pertanian seperti pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi lainnya seperti sarana angkutan.
Strategi dasar Repelita I tersebut kemudian dijabarkan pada rencana anggaran pengeluaran pembangunan di mana sebagian besar dana dialokasikan pada bidang ekonomi, yaitu 72,28%, khususnya untuk sektor pertanian dan irigasi, sektor perhubungan dan pariwisata, industri dan pertambangan serta sektor pedesaan. Sektor-sektor diluar ekonomi seperti bidang sosial (pendidikan, kesehatan) dan bidang umum (pertahanan, keamanan) masing- masing memperoleh 16,25% dan 5,4%.
Dalam rangka menunjang strategi dasar tersebut, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia menetapkan kebijaksanaan baru di bidang perdagangan, ekspor-impor, dan devisa. Kebijaksanaan ini merupakan lanjutan dari kebijaksanaan oktober 1966 dan kebijakan juli 1968. Kebijaksanaan baru ini dikenal dengan kebijaksanaan 16 april 1970.
Sasaran Kebijakan Oktober 1966 adalah:
* Penertiban keuangan negara yang serba kalut.
* Pengaturan kembali urusan moneter dan dunia perbankan
* Memberikan kebebasan kepada dunia perdagangan yang terbelenggu oleh sistem “jatah” yang tidak wajar dan terbeku oleh peraturan berbelit yang mematikaninisiatif masyarakat.
Sasaran pokonya adalah membendung keganasan inflasi yang melanda indonesia. Kebijakan Juli 1968 mempunyai sasaran pokok:
* Penguasaan harga pangan, harga sandang, dan valuta asing.
* Penyediaan yang cukup bagi sarana-saran untuk peningkatan produksi dalam negeri, khususnya pangan dan sandang.
* Perbaikan prasarana yang menunjang proses produksi
* Perbaikan kelembagaan di bidang perdagangan, perbankan dan fiskal.
Sasaran kebijaksanaan April 1970:
* Lebih memperkuat stabilitas ekonomi.
* Mendorong ekspor untuk peningkatan penerimaan devisa
* Mendorong peningkatan produksi
* Mendorong dan memperlancar perdagangan
* Memperluas kegiatan ekonomi masyarakat yang berarti juga memperluas lapangan kerja.
Sasaran kebijakan ini antara lain :
* Memberi arah dan bimbingan yang lebih aktif lagi bagi kegiatan ekonomi masyarakat.
* Mendorong lebih kuat dan menunjang lebih besar lagi kelancaran usaha.
* Menggairahkan kerja
* Meningkatkan produksi, dan
* Memperluas kegiatan dalam masyarakat sendiri.
Perkembangan perekonomian pada periode ini cukup tinggi (kurang lebih 6,5% per tahun). Penyebabnya dalam banyak hal adalah adanya konsistensi kebijaksanaan dalam bidang moneter, fiskal, perdagangan. Selain itu pengaruh luar negeri seperti permintaan terhadap minyak yang relatih baik dan harga minyak juga cukup baik, memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan perekonomian pada periode Repelita I ini.
SUMBER:
Suroso,P.C.1997. Perekonomian Indonesia.Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka


// Strategi Pertumbuhan Ekonomi
1.Industrialisasi Versus Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian bersifat menggunakan teknologi padat tenaga kerja dan secara relatif menggunakan sedikit kapital; meskipun dalam investasi pada pembuatan jalan, saluran dan fasilitas pengairan, dan pengembangan teknologinya. Kenaikan produktivitas sektor pertanian memungkinkan perekonomian dengan menggunakan tenaga kerja lebih sedikit menghasilkan kuantitas output bahan makanan yang sama. Dengan demikian sebagian dari tenaga kerja dapat dipindahkan ke sektor industri tanpa menurunkan output sector pertanian. Di samping itu pembangunan atau kenaikkan produktivitas dan output total sektor pertanian akan menaikan pendapatan di sektor tersebut.
2.Strategi Impor Versus Promosi Ekspor
Stategi industrialisasi via substitusi impor pada dasarnya dilakukan dengan membangun industri yang menghasilkan barang-barang yang semula diimpor. Alternatif kebijakan lain adalah strategi industrialisasi via promosi ekspor. Kebijakan ini menekankan pada industrialisasi pada sektor-sektor atau kegiatan produksi da dalam negeri yang mempunyai keunggulan komparatif hingga dapat memproduksinya dengan biaya rendah dan bersaing dengan menjualnya di pasar internasional. Strategi ini secara relatif lebih sukar dilaksanakan karena menuntut kerja keras agar bisa bersaing di pasar internasional.
3.Perlunya Disertivikasi
Usaha mengadakan disertivikasi bagi negara-negara pengekspor utama minyak dan gas bumi merupakan upaya mempertahankan atau menstabilkan penerimaan devisanya.
VI. ASPEK HUBUNGAN EKONOMI INTERNASIONAL DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI
A.Perluasan Perdagangan
Negara-negara maju telah berkembang merupakan sumber atau pensupplai barang-barang kapital. Di samping itu mereka juga merupakan pasar yang luas dan cukup besar yang membeli ekspor hasil-hasil pertanian, pertambangan, bahan mentah, ataupun barang-barang manufaktur oleh negara-negara sedang berkembang. Penurunan harga di pasar dunia akan bahan-bahan mentah produk pertanian ataupun hasil pertambangan akan sama seperti halnya turunnya harga minyak bumi ataupun harga tembaga di pasaran internasional.
B.Aliran Penanaman Modal (Investasi) Asing
Aliran kapital atau investasi asing dari luar negeri baik oleh sector pemerintah maupun swasta asing dapat merupakan suplemen atau pelengkap bagi usaha pemecahan lingkaran setan kemiskinan. Penanaman modal asing banyak bergerak di sektor eksplorasi sumber alam berupa pertambangan, kehutanan, perikanan, dan juga di sektor manufacturing. Swasta asing yang melakukan investasi umumnya merupakan perusahaan besar multinasional.
C.Bantuan Luar Negeri Berupa Hadiah dan Pinjaman
Bantuan asing bisa diberikan secara langsung atau melalui lembaga keuangan internasional. Contoh bantuan langsung berupa hadiah atau pinjaman yang diberikan oleh US-AID (United State Agency for International Development), suatu lembaga bantuan luar negeri pemerintah Amerika Serikat, atau dari badan-badan luar negeri yang serupa dari negara-negara maju telah berkembang lainnya.

tugas bab 1

tugas bab 1


Ekonomi Pancasila
KONSEP DASAR EKONOMI PANCASILA
Oleh:
R. Gunawan Sudarmanto
PENDAHULUAN
Sejak Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas hidup bermasyarakat, berbang-
sa dan bernegara, maka secara Ideologi kehidupan bangsa sudah mantap dan tentram,
suatu suasana kehidupan yang amat membantu menc’iptakan kegairahan kehidupan bangsa
da lam berbagai aspeknya. Pada saat itu pemikiran-pemikiran konseptual tentang Ekono-
mi Pancasila yang mulai berkembang sejak tahun 1980 semakin lugas dibahas, baik
oleh Para pakar maupun orang-orang praktek. Hingga perkembangannya pada era tersebut
DPR RI dan DPA juga semakin serius membahas tentang Ekonomi Pancasila, khususnya
dalam kaitan dengan penjabaran pengertian demokrasi ekonomi.
Semenjak era reformasi pada tahun 1997/1998 hingga saat ini pembicaraan tentang
Pancasila sangat jarang terdengar di kalangan masyarakat bahkan dapat dikatakan tidak
pernah lagi terdengar pembicaraan tentang Ideologi Pancasila, apalagi tentang Ekonomi
Pancasila. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, Pancasila yang dipandangnya sebagai
Ideologi Negara tetapi sangat jauh dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernega-
ra. Kenyataan ini dapat dikatakan bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang tidak berani
mengakui jati diri yang sebenarnya. Manusia diciptakan dalam berbagai bentuk bangsa
agar masing-masing memiliki jati diri sehingga dapat hidup dengan tenteram, damai, sejah-
tera, dan aman karena sesuai dengan jati diri bangsa yang bersangkutan.
Pancasila sebagai Ideologi
Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol sekelompok
masyarakat atau satu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman kerja (atau per-
juangan) untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa itu. Pancasila yang merupakan
jiwa dan pandangan hidup bangsa telah dianggap mampu membawa seluruh bangsa Indo-
nesia menuju ke arah kehidupan yang merdeka, bersatu, dan berdaulat, meskipun belum
sepenuhnya mencapai tahap masyarakat yang adil dan makmur, yang tata tentrem karta
1
Apabila dalam teori ekonomi barat (Klasik—Neoklasik—Keynesian) diasumsikan
bahwa hakekat manusia adalah egois dan selfish, dalam teori ekonomi “Timur” (Marxian)
manusia dianggap bersemangat kolektif. Dalam amsyarakat Pancasila manusia mencari
keseimbangan antara hidup sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat, materi dan rok-
hani. Manusia Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa, selain homo-economicus,
sekaligus homo-metafisikus dan homo musticus. Jadi dalam ekonomi Pancasila tidak
hanya dilihat dari satu segi instink ekonominya tetapi sebagai manusia seutuhnya. Sebagai
manusia yang utuh ia berfikir, bertingkah laku, dan berbuat tidak hanya berdasar rangsang-
an ekonomi saja tetapi juga oleh faktor-faktor sosial dan moral. Faktor sosial dalam hu-
bungannya dengan manusia lain dan masyarakat dan faktor moral dalam hubungannya se-
bagai titah Tuhan dengan penciptanya.
Bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dan bertahan sebagai sutau bangsa kare-
na memiliki sistem nilai/falsafah dasar bangsa Indinesia yang menjadi Ideologi bangsa yai-
tu Pancasila. Pancasila telah disepakati menjadi falsafah dasar, sebagai pandangan dan pe-
gangan hidup bangsa, sehingga menjadi moral kehidupan bangsa, menjadi ideologi yang
menjiwai peri kehidupan bangsa baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hankam.
Pancasila sebagai Ideologi Ekonomi
Istilah “Ekonomi Pancasila” baru muncul pada tahun 1967 dalam suatu artikel Dr.
Emil Salim. Ketika itu belum begitu jelas apa yang dimaksud dengan istilah Ekonomi Pan-
casila. Istilah Ekonomi Pancasila menjadi lebih jelas ketika pada tahun 1979, Emil Salim
membahas kembali yang dimaksud dengan “Ekonomi Pancasila”.
Ekonomi Pancasila merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional econom-
ics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara,
yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi rujukan setiap orang In-
donesia. Jika Pancasila mengandung 5 asas, maka semua substansi sila Pancasila yaitu (1)
etika, (2) kemanusiaan, (3) nasionalisme, (4) kerakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan so-
sial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Kalau sila pertama dan
kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai caranya, maka sila ke-
lima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi Pancasila
Ideologi Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” yang mengikat setiap pelaku
ekonomi, yang apabila dipatuhi secara penuh akan mengakibatkan tertib dan teratur-
nya perilaku setiap warga negara. Dan ketertiban serta keteraturan perilaku ini
pada gilirannya akan menyumbang pada kemantapan dan efektifitas usaha perwu-
judan keadilan sosial.
2
Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa moralitas teori ekonomi Adam
Smith adalah kebebasan (liberalisme), dan moralitas teori ekonomi Marx ada-
lah diktaktor mayoritas kaum “proletar”, maka moralitas ekonomi Pancasila
mencakup seluruh asas Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persa-
tuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Pancasila sebagai dasar negara dapat dite-
rapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara, dan masyarakat. Sila-sila yang ter-
dapat pada Pancasila sudah seharusnya menjadi dasar pelaksanaan perekonomian Bangsa
Indonesia dan tidak perlu ditawar-tawar lagi. Pancasila sebagai dasar negara sangat sesuai
dengan watak dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karenanya nilai-nilai yang terkan-
dung pada Pancasila harus nyata kita tampakkan dalam segala aspek kehidupan sebagai jati
diri bangsa Indonesia. Hanya bangsa yang memiliki jati diri luhurlah yang akan memiliki
martabat yang tinggi sebagaimana yang pernah kita rasakan beberapa waktu lalu sebelum
reformasi.
Pelaksanaan Sila-sila Pancasila dalam Ekonomi
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa Pancasila sebagai dasar
negara, maka sila-sila yang terdapat pada Pancasila dapat diterapkan dalam
kehidupan ekonomi bangsa, negara, dan masyarakat sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Menunjukkan bahwa pola perekonomian dige-
rakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral yang sangat tinggi,
yaitu moral manusia yang beragama sehingga para pelaku ekonomi tidak akan semena-
mena karena adanya pengawas tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ada kehendak kuat dari seluruh masyara-
kat untuk mewujudkan pemerataan-pemerataan sosial (egalitarian), sesuai asas-asas ke-
manusiaan.
3. Persatuan Indonesia. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan
perekonomian nasional yang tangguh. Ini berarti nasionalisme menjiwai se-
tiap kebijaksanaan ekonomi.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawara-
tan/Perwakilan. Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan meru-
pakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama.
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan pada
adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat na-
sional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekono mi un-
tuk mencapai keadilan ekonomi dan keadailan sosial.
3
Aturan main yang diturunkan dari setiap sila dalam Pancasila kita bisa
melihat sejauh mana aturan main tersebut telah bisa ditegakkan dalam masya-
rakat. Misalnya dalam sila Persatuan Indonesia kita bisa meneliti setiap kasus
kebijakan ekonomi yang hendak diambil, apakah akan menyumbang atau ti-
dak pada peningkatan ketangguhan atau ketahanan ekonomi nasional.
spesifik lagi bisa diambil contoh apakah setiap utang baru atau kerja sama eko-
nomi dengan negara lain bisa menyumbang atau sebaliknya mengancam ke-
tangguhan dan ketahanan ekonomi nasional.
Menurut Boediono (mantan Menkeu RI), sistem Ekonomi Pancasila dicirikan oleh
lima hal sebagai berikut:
(1) Koperasi adalah sokoguru perekonomian nasional
(2) Manusia adalah “economic man” sekaligus “social and religious man”.
(3) Ada kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme dan kemerataan sosial.
(4) Prioritas utama kebijakan diletakkan pada penyusunan perekonomian nasional
yang tangguh.
(5) Pengandalan pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan
ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi
perkembangan ekonomi seperti yang dicerminkan dalam cita-cita koperasi.
Pancasila, Etika Ekonomi, dan Dunia Bisnis
Dalam melaksanakan sistem ekonomi usaha bersama berdasar asas kekeluar-
gaan, kita mengenal tiga pelaku utamanya yaitu koperasi, usaha negara dan usaha
swasta yang masing-masing pelaku ekonomi mempunyai etika kerja sendiri-sendiri yang
berbeda satu dengan yang lain. Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial
yang dibentuk oleh para anggotanya untuk melayani kepentingan mereka, yaitu
membantu memperjuangkan kepentingan mereka, khususnya dalam upaya me-
ningkatkan kesejahteraannya. Ini berarti misi dan etika kerja (perkumpulan)
koperasi adalah pelayanan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin kepada ang-
gota. Ukuran paling mendasar untuk menilai berhasil tidaknya koperasi adalah
manfaat pelayanan kepada anggota. Etika Ekonomi Pancasila bersumber pada
UUD 1945 khususnya Pasal 33 sebagai sistem ekonomi kekeluargaan, dan pada
Pancasila sebagai pedoman etik yang memberikan semangat dan gerak pembangunan na-
Etika ekonomi usaha negara hampir sama dengan etika ekonomi koperasi
yaitu melayani tetapi sekaligus melindungi kepentingan umum. Orientasi pada
4
pelayanan dan perlindungan kepentingan umum inilah misi utama usaha negara
atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Inilah yang terkandung dalam pengertian ca-
bang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, harus dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara maksimal
(sebesar-besar kemakmuran rakyat ). Etika ekonomi usaha swasta adalah memproduksi
dan menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat, dengan mengambil keuntung-
an uang dari kegiatan dan usahanya itu. Usaha swasta berkembang karena ada
keuntungan yang bisa diperoleh dan dipupuk.
Apabila wawasan ekonomi Pancasila sudah kita terima sebagai satu-satunya
pegangan etik sistem dan kebijaksanaan pembangunan nasional, maka bisa berubah
menjadi acuan nasional yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Hadiah dan
sangsi atas pelaksanaan atau pelanggaran aturan etik memang bersifat etik pula, yang
pengawasannya tidaklah bisa dilakukan oleh aparat negara dan pemerintah saja.
Pengawasan ini harus melekat pada hakekat moral masyarakat bangsa secara keselu-
ruhan baik dalam kelompok-kelompok kecil maupun kelompok besar.
Ekonomi Pancasila sebagai ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics)
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila mengandung 5 asas yang mana
semua substansi sila Pancasila yaitu (1) etika, (2) kemanusiaan, (3) nasionalisme, (4) ke-
rakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi
yang disusun. Disinilah kelima sila diatas menjadi substansi etika dalam Ekonomi Pancasi-
la. Kalau sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan rangsangan moral maka sila
2 sampai 5 menjadi landasan rangsangan sosial ekonomika etik Ekonomi Pancasila. Eko-
nomi Pancasila dengan kata lain merangkum secara tepat dua elemen utama pencapaian
kesejahteraan ekonomi.
Konsep ekonomika etik ekonomi Pancasila oleh Mubyarto dalam bukunya Sistem
dan Moral Ekonomi Pancasila dicirikan sebagai berikut: (1) Roda perekonomian digerak-
kan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial. (2) Ada kehendak kuat dari seluruh ang-
gota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi. (3) Prioritas ke-
bijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh,
yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi. (4) Koperasi me-
rupakan soko guru perekonomian nasional. (5) Adanya imbangan yang jelas dan tegas an-
tara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan eko-
nomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi Pancasila Sebagai Ekonomi Moral
5
Sistem Ekonomi Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu (1) Yang
menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajad hidup
orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan / hasil bumi,
dan lain sebagainya. (2) Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu ju-
ga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Se-
hingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Ke-
dua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan
saling mendukung. (3) Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi
dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
(4) Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas ke-
keluargaan antar sesama manusia.
Dalam sistem ekonomi pancasila perekonomian liberal maupun komando harus di-
jauhkan karena terbukti hanya menyengsarakan kaum yang lemah serta mematikan kreati-
fitas yang potensial. Persaingan usaha pun harus selalu terus-menerus diawasi pemerintah
agar tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan.
Ekonomi Pancasila mempunyai sistem dan moral tersendiri yang bisa dikenali,
dan sifat-sifat sistem serta moral ekonomi Pancasila telah melandasi atau menjadi pedo-
man aneka perilaku ekonomi perorangan, kelompok-kelompok dalam masyarakat,
pengusaha, pemerintah, dan negara. Sistem serta moral yang dimaksud bersumber
pada ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila meng-
gambarkan secara utuh semangat kekeluargaan (gotong royong) dalam upaya mewujud-
kan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia.
Ekonomi Indonesia lebih menonjol sebagai ekonomi moral bukan ekonomi
yang terlalu rasional. Ekonomi Pancasila menjunjung tinggi asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat, rupanya apabila harus memilih antara keadilan sosial dan efisiensi, kita
akan cenderung mengorbankan efisiensi. Efisiensi sebagai lawan keadilan rupanya
analog dengan dilema (trade off) antara pertumbuhan dan pemerataan. Masyara-
kat Indonesia cukup cepat bereaksi menginginkan pemerataan pada waktu Pelita I ber-
hasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang kemudian ternyata diikuti me-
ningkatnya ketimpangan ekonomi yang menyolok.
Kiranya jelas bahwa ekonomi Pancasila harus kita akui sudah melekat pada
sistem nilai dan budaya bangsa Indonesia.
mengikis habis sifat-sifat irrasional yang tercermin dalam efisiensi dan produkti-
vitas yang rendah, pada akhirnya kita menghadapi “tantangan” berupa moral
6
ekonomi bangsa yang tidak sepenuhnya bersifat negatif. Dalam hati nurani seba-
gai bangsa masih selalu terselip.perasaan was-was jangan-jangan pengambilan pilihan
yang semata-mata rasional justru akan merugikan dalam jangka panjang dan akhirnya
akan kita sesali.
Masa Depan Ekonomi Pancasila di tengah Arus Dehumanisasi di Era Globalisasi
Kiranya sudah saatnya untuk merumuskan kembali etos global berupa konsensus
mendasar tentang nilai-nilai, norma-norma, dan sikap-sikap tertentu yang dilandasi oleh
prinsip humanum, hakikat manusia. Hal itu dilakukan demi kedamaian umat manusia di-
tengah ancaman globalisasi yang menonjolkan nilai-nilai individualisme dan menggerus
nilai-nilai humanisme. Ini merupakan bel pengingat bahwa etika saat ini mengalami gem-
puran luar biasa dari arus besar nilai-nilai individualisme yang memboncengi persebaran
ideologi kapitalisme dan liberalisme. Individualisme yang mengakar dalam kejatian diri
manusia disinyalir bisa mendorong akumulasi nilai-nilai dehumanisasi karena semangat
egoisme sebagaimana terangkum dalam idiom Betawi elo-elo gua-gua menjadikan manu-
sia tidak peduli satu sama lain dan mau menang sendiri yang lambat laun akan membentuk
pola pikir berupa tidak mau memanusiakan sesama manusia lainnya.
Sebagai sebuah wacana yang terus diupayakan perwujudannya, konsep ekonomika
etik saat ini mengalami tantangan berat dalam merealisasikannya. Mainstream pemikiran
ekonomi kini yang sangat liberal dan kapitalistik kian meminggirkan nilai-nilai etika ke-
manusiaan dalam praktek ekonominya. Hal inilah yang menjadikan agenda memasyara-
katkan ekonomika etik berbasis Pancasila di bumi Indonesia tidaklah semudah membalik-
kan telapak tangan. Banyak rintangan yang akan bermunculan dari pihak-pihak yang diun-
tungkan dengan bertahtanya sistem ekonomi kapitalisme selama ini.
Mungkinkah ekonomika etik bertahta di Indonesia dan menjadi acuan bersama pe-
laksanaan ekonomi nasional? Segala kemungkinan hingga kini masih terbuka lebar. Ada
banyak cara membangkitkan kesadaran pentingnya berekonomi secara etik yang dalam
perwujudannya merupakan bentuk dari Ekonomi Pancasila. Salah satunya melalui revitali-
sasi budaya bangsa Indonesia yang didominasi nilai-nilai komunalisme dan kebersamaan
yang kemudian dipadukan dengan pelaksanaan sistem ekonomi. Nilai kegotongroyongan
dan kekeluargaan yang menjadi etika masyarakat Indonesia yang terhimpun dalam berba-
gai ragam tradisi dan adat masyarakat bisa ditransformasikan tidak hanya dalam berbudaya
namun juga dalam berekonomi. Tidaklah keliru jika Indonesia perlu belajar dari keberhasi-
lan Korea Selatan yang sukses mentransformasikan nilai-nilai budaya yang berangkat dari
tiga prinsip: rajin, mandiri, dan gotong royong untuk menjadi sebuah gerakan nasional be-
rupa Saemaul Undong yang mengantarkan kesuksesan Korea Selatan di bidang ekonomi
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
// Ekonomi Sosialis
Sedikit tentang Ekonomi Sosialis
Harga-harga sumber-sumber daya/ barang-barang dan jasa-jasa ditetapkan oleh pemerintah (sistem subsidi besar-besaran). Gaji dan upah sangat rendah dibandingkan dengan gaji atau upah negara-negara dengan sistem kapitalis. Pemerintah memberikan subsidi dalam bentuk sewa apartemen, harga barang dan sebagainya. Kaum sosialis sangat mementingkan pemerataan dalam distribusi pendapatan yang dituangkan dalam slogan “sama rata, sama rasa”.
Dalam prakteknya teori ini sulit dilaksanakan. Dalam pemberian imbalah harus ada perbedaan. Contoh penyapu jalan dan dokter spesialis. Agar motif berprestasi dapat tetap dipertahankan. Pada dasarnya apa yang baru saja dibicarakan berhubungan dengan masalah EQUITY (keadilan). Asas keadilan : apa yang berprestasi lebih mendapatkan penghasilan lebih.
“To Each According to His Needs and to Each According to His Ability”
Masing-masing anggota masyarakan mendapat output nasional sesuai dengan kedudukannya. Negara menjamin semua kebutuhan dasar rakyat. Masing-masing anggota masyarakan mendapat bagian output nasional sesuai dengan kemampuannya.
Hak milik privat ditiadakan oleh pemerintah. Pemerintah penguasa tunggal sumberdaya ekonomi dan harta kekayaan (tindakan nasionalisme). Pada perekonomian sosialis sumber daya ekonomi dikuasai oleh pemerintah, digunakan untuk memproduksi barang dan jasa.
Perniagaan luar negeri = monopoli negara, Hanya badan-badan pemerintah yang boleh melakukan perdagangan internasional. Government to Government, Pengusaha swasta dengan pengusaha swasta, pengusaha ke pemerintah atau pemerintah ke pengusaha swasta.
Sumber: http://id.shvoong.com/business-management/international-business/1915077-pemerintahan-dan-ekonomi-sosialis/#ixzz1FA3fwjxu
Diposkan oleh uphie blog di 05:29 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
// Ekonomi Liberal
SISTEM EKONOMI PASAR (LIBERAL)
System ekonomi pasar dikemukakan oleh Adam Smith yang dimuat dalam bukunya yang berjudul An Inquiry Into the Nature and Causes of the wealth of Nation.
Cirri system ekonomi pasar adalah sebagai berikut :
a. Setiap individu bebas memiliki barang dan alat-alat produksi.
b. Kegiatan ekonomi di semua sector dilakukan oleh pihak swasta
c. Pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi.
d. Modal memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi.
e. Setiap orang diberi kebebasan dalam memakai barang dan jasa
f. Semua kegiatan ekonomi didorong oleh prinsip laba.
g. Berlakunya persaingan secara bebas.
Kebaikan system ekonomi pasar adalah :
a. Adanya persaingan mendorong manusia atau individu untuk terus maju dan bertindak secara efektid dan efisiien.
b. Tiap-tiap individu bebas memilih pekerjaan yang disukai sesuai dengan minat dan bakatnya.
c. Produksi didasarkan atas kebutuhan masyarakat.
d. Kebebasan memilih alat-alat produksi dan modal.
Keburukan system ekonomi pasar adalah :
a. Persaingan dapat menyebabkan terjadinya penindasan dan monopoli.
b. Karena motif memperoleh laba, tiap-tiap individu hanya mementingkan diri sendiri sehingga pemerataan pendapatan sulit dicapai atau tidak merata.
c. Sulit menghindarkan naik turunnya kehidupan ekonomi sehingga krisis ekonomi lebih mungkin sering terjadi.
d. Timbulnya dampak imbasan.
Ada lima institusi pokok yang membangun sitem ekonomi pasar (liberal), yakni :
a.Hak kepemilikan.
Sebagian besar hak kepemilikan dalam sistem ekonomi liberal(pasar) adalah hak kepemilikan swasta/individu (private/individual property), sehingga individu dalam masyarakat liberal kapitalis lebih terpacu untuk produktif.
b.Keuntungan.
Keuntungan (profit) selain memuaskan nafsu untuk menimbun kekayaan produktif, juga merupakan bagian dari ekspresi diri, karena itu keuntungan dipercaya dapat memotivasi manusia untuk bekerja keras dan produktif.
c.Konsumerisme.
Konsumerisme sering diidentikkan dengan hedonisme yaitu falsafah hidup yang mengajarkan untuk mencapai kepuasan sebesar-besarnya selama hidup di dunia. Tetapi dalam arti positif, konsumerisme adalah gaya hidup yang sangat menekankan pentingnya kualitas barang dan jasa yang digunakan. Sebab tujuan akhir dari penggunaan barang dan jasa adalah meningkatkan nilai kegunaan (utilitas) kehidupan. Sehingga masyarakat liberal kapitalis terkenal sebagai penghasil barang dan jasa yang berkualitas.
d.Kompetisi.
Melalui kompetisi akan tersaring individu-individu atau perusahaan-perusahaan yang mampu bekerja efisien. Efisiensi ini akan menguntungkan produsen maupun konsumen, atau baik yang membutuhkan (demander) maupun yang menawarkan (supplier).
e.Harga.
Harga merupakan indikator kelangkaan, jika barang dan jasa semakin mahal berarti barang dan jasa tersebut semakin langka. Bagi produsen, gejala naiknya harga merupakan sinyal untuk menambah produksi agar keuntungan meningkat.
Sumber: http://id.shvoong.com/business-management/2003961-sistem-ekonomi-pasar-liberal/#ixzz1FA2FYXOu

// Ekonomi Terpimpin
Sejarah Singkat Bung Hatta Sebagai Pemrakarsa Ekonomi Terpimpin.
Ekonomi terpimpin, kata itu bagi sejarahwan mungkin sudah tidak asing lagi. Pendirinya adalah Mohammad Hatta yang akrab disapa dengan sapaan Bung Hatta. Selain dikenal sebagai proklamator dan pendiri bangsa, beliau juga dikenal sebagai bapak koperasi Indonesia dan bapak ekonomi Indonesia. Selama beliau hidup, beliau banyak mengabdikan waktunya untuk membaca buku. Sejarah telah mencatat bahwa beliau telah mempunyai koleksi lebih dari 10.000 buku yang berbahasa Jerman, Inggris, Perancis dan tentunya Indonesia.
Bung Hatta telah memulai untuk mengoleksi buku sejak beliau masuk sekolah dagang menengah Prins Hendrik School (PHS) di Jakarta pada tahun 1919. Seperti tertulis di dalam buku memoarnya yang diterbitkan ulang tahun 2002, Bung Hatta telah mulai mengoleksi buku sejak ia masuk sekolah dagang menengah Prins Hendrik School (PHS) di Betawi tahun 1919. Ketika itu ia diajak pamannya, Mak Etek Ayub, singgah di sebuah toko buku antiquariat di daerah Harmoni. Mak Etek Ayub menunjukkan kepada Hatta beberapa buku yang dianggapnya penting untuk dibaca. Buku-buku tersebut adalah Staathuishoudkunde (Ekonomi Negara) dua jilid karya NG Pierson, De Socialisten (Kaum Sosialis) enam jilid yang ditulis HP Quack, serta karya Bellamy berjudul Het Jaar 2000 (Tahun 2000).
Ternyata, persoalan yang paling diminati oleh Bung Hatta ialah persoalan seputar tentang ekonomi, sehingga beliau berhasil membuahkan sebuah pemikiran ekonomi di Indonesia seperti ekonomi terpimpin. Sayangnya, di saat ini jarang sekali orang yang tertarik untuk menggali kembali pemikiran-pemikiran Bung Hatta khususnya di bidang ekonomi. Pemikiran Bung Hatta dianggap telah kehilangan relevansinya.
Pengertian Ekonomi Terpimpin.
Ekonomi terpimpin secara istilah yang disebutkan Bung Hatta yaitu merupakan konsekuensi dan nasionalisme yang timbul sebagai bentuk dari perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme.
Prinsip ekonomi terpimpin sejalan dengan sila ke-5 pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dikarenakan adanya pemerataan pembagian kesejahteraan di semua lapisan masyarakat dan mereka dapat merasakannya.
Ekonomi terpimpin serupa dengan ekonomi sosialis. Menurut Bung Hatta ekonomi terpimpin merupakan rival dari sistem ekonomi liberal. Dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pihak pasar, sedangkan pemerintah tidak boleh campur tangan dalam hal tersebut. Atau juga ikut andil dalam mengatur keadaan pasar sehingga peraturan tersebut tidak memberikan gerak bebas bagi pasar.
Ekonomi Liberal dan Dampak Yang Terjadi Bagi Masyarakat.
Jika kita lihat lagi dampak yang ditimbulkan dari adanya ekonomi liberal, dengan demikian maka ketimpangan ekonomi, kesemena-menaan dan kesenjangan sosial akan terjadi. Karena yang kaya akan semakin menjadi kaya sedangkan yang miskin akan semakin menjadi miskin karena tidak adanya pemerataan ekonomi di seluruh lapisan masyarakat. Fakta lapangan telah mengatakan bahwa peran liberal hanya dimiliki oleh sekelumit orang saja yang mampu bertahan dalam keadaan tersebut yaitu pemilik modal, singkat kata merekalah pemilik modal, yang memonopoli pasar.
Demikian juga, kebijakan ekonomi Indonesia yang sedikit menganut ekonomi liberal dan tidak tegas yang hanya menguntungkan daerah kaya atau maju tetapi juga mengutungkan orang kaya. Misalnya saja terutama di masa Orde Baru kita melihat bagaimana konglomerat kalau meminjam uang dalam jumlah besar di bank tidak diwajibkan memiliki jaminan atau agunan, sementara pedagang kecil kalau pinjam uang di bank harus memenuhi macam-macam agunan dan kewajiban yang sulit dipenuhi.
Coba kalau kita berkaca kepada sebagian negara yang menggunakan asas ekonomi liberal seperti Amerika Serikat, maka ketidakmerataan pendapatan dalam penduduknya akan dapat sering anda lihat, sekalipun Amerika Serikat tergolong negara yang maju. Para pemilik modal dan jutawan tenar layaknya Donald Trump dan Bill Gates, keduanya akan mampu bertahan dan bahkan terus menguasai, mendominasi dan memonopoli pasar. Sedangkan masyarakat kalangan bawah dan menengah dipastikan akan menjadi korbannya.
Contoh bukti praktek ekonomi liberal di negara kita yang gamblang dapat kita lihat yaitu pada proyek minyak blok Cepu yang pada akhirnya infestor asing (Exxon Mobile) berhasil mengungguli Pertamina selaku perusahaan negara. Belum lagi Freeport di Papua yang dikuasai Infestor asing dari Amerika. Akibatnya eksploitasi tersebut hanya menguntungkan pihak infestor saja, sedangkan mereka tidak memperdulikan Indonesia selaku pemilik bahan bakunya.
Hal ini terjadi karena kurangnya adanya ketegasan dari pihak Indonesianya sendiri. Pemerintah takut akan resiko yang akan dihadapinya jika melaksanakan kebijakan yang dirasa akan merugikan pihak asing.
Dengan demikian jika kita lihat dari contoh di atas maka keadilan sosial tidak akan tercapai dan jauh dari prinsip nasionalisme yang menjunjung tinggi asas keadilan sosial untuk masyarakatnya.
Lain halnya dengan ekonomi terpimpin yang condong mengadopsi pemikirannya dengan pemikiran ekonomi sosialis. Ekonomi terpimpin mempunyai sistem bahwa pemerintah harus turut aktif dalam kegiatan ekonomi.
Keunggulan Ekonomi Terpimpin.
Dalam konteks ini, kita bisa mengingat apa yang pernah ditulis Hatta pada saat dia masih berusia 26 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa (ditulis Maret 1928). Begini ia menulis waktu itu: “Pemerintah harus banyak campur tangan dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin dengan mengadakan petunjuk, tetapi harus bebas dari perbuatan birokrasi. Dalam pelaksanaan ekonomi yang berpedoman kepada prinsip murah, lancar, dan cepat, tidak ada yang lebih berbahaya dari pada birokrasi.”
Dan juga pemerintah selayaknya turut pula memberikan aturan-aturannya. Supaya terciptanya pemerataan ekonomi di semua kalangan masyarakat, sehingga yang kaya tidak semakin kaya sedangkan yang miskin tidak semakin miskin.
Coba kita kembali lagi berkaca kepada salah satu negara yang menggunakan sistem ekonomi sosialis seperti Republik Rakyat Cina. Maka kita akan melihat keadaan pendapatan masyarakatnya yang merata, sehingga tidak akan anda menjumpai permasalahan ketimpangan-ketimpangan ekonomi di negara ini, sekalipun negara ini negara yang mempunyai penduduk terbanyak di dunia.
Bahkan buktinya, kini negara Republik Rakyat Cina mampu menjadi negara urutan ketiga yang pertumbuhan ekonominya melesat pesat setelah urutan pertama diduduki oleh Uni Eropa dan posisi urutan kedua diduduki oleh India.
Dari contoh di atas, dengan itu keadilan sosial untuk rakyat niscaya akan tercapai, keadaan ekonomi akan bertambah baik dan kemajuan untuk negara akan diraih. Seperti yang sering digembar-gemborkan oleh Pancasila dalam silanya yang ke-5 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” yang akan mengantarkan negara untuk memenuhi keadilannya dalam membagi kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dengan ini maka cita-cita nasionalisme akan tercapai. Berbicara masalah jenisnya, ekonomi terpimpin dibagi menjadi enam jenis, yaitu:
1. Ekonomi terpimpin menurut ideologi komunisme.
2. Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi.
3. Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme.
4. Ekonomi terpimpin menurut faham kristen sosialis.
5. Ekonomi terpimpin berdasar ajaran Islam
6. Ekonomi terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.
Yang pasti dari enam aliran ekonomi terpimpin itu kesemuanya itu menolak adanya kepentingan individu, yang mana kepentingan orang banyak akan terkalahkan oleh kepentingan segelintir orang tersebut. Hal ini justru benar-benar terlihat dari sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan per-individu saja sedangkan masyarakat banyak yang lebih membutuhkannya malah kenyataannya terabaikan.
Ekonomi Terpimpin dan Nasionalisme.
Pada hakikatnya, adanya konsep ekonomi terpimpin itu disambungkan dengan adanya konsep nasionalisme. Jadi selayaknya ekonomi terpimpin yang paling layak digunakan demi terhubungnya dengan prinsip nasionalisme adalah ekonomi terpimpin yang berdasarkan atas asas sosialisme demokrasi, yang kedua asas ini terkait dengan Pancasila yang berlaku sebagai landasan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasionalisme merupakan bentuk atau cerminan dari gerakan yang mana gerakan tersebut memperjuangkan persatuan rakyat dan kesejahteraan rakyat. Nasionalisme lahir pada masa permulaan abad ke-20 sebagai reaksi atau bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
Selain itu nasionalisme juga mempunyai beberapa gagasan yang berguna untuk menentang aksi kolonialisme, yaitu:
Aspek Politik.
Yang bertujuan untuk menghilangkan praktek politik asing yang kurang baik dan menggantinya dengan sistem pemerintahan yang berdaulat kepada rakyat.
Aspek sosial ekonomi.
Yang bertujuan untuk memberantas eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemiskinan dan kesengsaraan.
Aspek budaya.
Yang bertujuan untuk mengembalikan kepribadian bangsa yang harus disesuaikan dengan perubahan zaman seperti sekarang. Hal ini bertujuan untuk menyaring kelayakan budaya luar negeri yang masuk ke dalam Indonesia yang disesuaikan dengan berbagai macam pandangan-pandangan.
Jadi dengan berbagai penjelasan di atas, tentunya sudah kita lihat bahwa nasionalisme hanya pantas menggandeng dan disandingkan dengan sistem ekonomi terpimpin yang sesuai dengan prinsip-prinsipnya.
Ekonomi terpimpin yang bersifat sosialis bersifat membatasi dalam menyikapi antara keikutsertaan pihak pemerintah dan pihak individu dalam kegiatan ekonominya, keterlibatan adanya campur tangan pemerintah atau negara adalah dibatasi. Sedangkan bagi pihak individu atau pemilik modal juga tidak 100% keberadaannya dimusnahkan. Mereka tetap boleh mempunyai hak untuk bergabung. Hanya saja antara pihak pemerintah dan pihak individu dalam ruang lingkup ekonomi terpimpin sosialis dibatasi. Hal ini diberlakukan hanya untuk mengupayakan terlebih dahulu kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.
Menurut Lerner dalam bukunya The Economics of Control, sistem ekonomi terpimpin yang berasaskan sosialis telah memasukkan kedalamnya beberapa dari unsur-unsur ekonomi liberal. Menurutnya ekonomi liberal dan ekonomi sosialis dapat disatukan dan didamaikan menjadi “Welfare Economics”, yaitu sebuah bentuk dari kemakmuran ekonomi. Hal ini telah dipraktekkan di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa setelah perang dunia I.
Pada sistem ekonomi terpimpin sosialis, ada hal yang harus dilaksanakan. Yang pertama ialah sumber ekonomi yang ada haruslah dikerjakan, supaya tidak adanya terbuka lahan baru untuk pengangguran akan tetapi membuka lahan baru untuk mencipitakan tenaga kerja.
Kedua, membagi hasil pendapatan dengan adil merata tanpa ada jatah hasil pendapatan yang lebih besar dikarenakan pangkat atau derajat. Dengan diterapkannya hal ini, maka kesenjangan sosial atas yang kaya dan yang miskin tidak akan terjadi, semua rakyat akan menikmati hasilnya. Tulisan lain yang ditulis Hatta tahun 1957 yang masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini adalah tentang Kemiskinan dan kesenjangan. Begini waktu itu dia menulis: “…. Miskin tetap miskin dengan tidak ada perspektif. Keadaan masyarakat kita sekarang hanya menyatakan pertentangan hebat antara si kaya dan si miskin . Antara sekelompok manusia yang hidup mewah dengan banyak orang yang tidak berada. Tidak sedikit pula rakyat yang hidup menderita…”
Data Bappenas yang diumumkan baru-baru ini menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini naik menjadi 49,5 juta orang atau 24,23 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah itu 31,9 juta orang berada di pedesaan dan 17,6 juta orang di perkotaan. Bila dilihat secara geografis maka 59 persen penduduk miskin ada di Pulau Jawa dan Bali, 16 persen di Sumatera, serta 25 persen menyebar di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Kalau dipertanyakan lagi dari keadaan yang terjadi sekarang ini, itu terjadi bukanlah karena Indonesia negara yang miskin. Akan tetapi keadaan ini terjadi karena salahnya kebijakan pemerintah yang diambil. Yang selalu berpihak pada posisi yang kaya, khususnya pada zaman orde baru.
Jadi apa yang diprihatinkan Hatta waktu itu ternyata sampai sekarang masih terjadi dan bahkan seperti telah diumumkan oleh Bappenas, jumlah orang miskin di Indonesia malah naik. Kesetaraan dalam lapisan masyarakat akan dapat diwujudkan, sehingga kesejahteraan di antara kalangan masyarakat akan dapat diraih secara keseluruhan.
Ketiga, bentuk dari pemonopolian dan peng-oligopolian harus dihapuskan dalam kegiatan ekonomi. Karena hanya akan menyebabkan kerugian di salah satu pihak. Dan juga hanya akan menimbulkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.
Bentuk Cita-cita Dari Ekonomi Terpimpin dan Demokrasi.
Telah dijelaskan bahwa ekonomi terpimpin adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan atas nasionalisme dan demokrasi. Menurut master ekonomi Indonesia yaitu Bung Hatta, tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi ialah negara mampu mencapai kemakmuran bagi hidup rakyatnya. Tiada lagi salah satu rakyat dari suatu negara itu yang tidak mendapatkan kenikmatan dari makmurnya suatu negara itu.
Negara harus lebih mendahulukan kepentingan masyarakatnya terlebih dahulu daripada segelintir individu yang kepentingannya berbeda dengan rakyat. Akan tetapi individu tersebut tidaklah harus mutlak atau murni dihilangkan.
Secara umum cita-cita dari adanya ekonomi terpimpin ada empat, yaitu yang pertama untuk membuka lapangan kerja bagi kesemua lapisan masyarakat. Secara otomatis maka angka pengangguran akan terkurangi bukannya justru menutup lapangan kerja bagi kesemua lapisan masyarakat seperti yang dipraktekkan oleh ekonomi liberal. Intinya tiada lagi angka kemiskinan.
Yang kedua ialah adanya standarisasi hidup yang baik bagi masarakat banyak secara keseluruhan. Artinya dalam hal ini negara telah menjamin hidup masyarakatnya akan lebih baik dan sejahtera, seperti yang telah diidamkan mereka.
Cita-cita yang ketiga ialah semakin berkurangnya ketidaksamaan ekonomi dengan memperata kemakmuran. Dengan ini, negara tersebut akan tumbuh menjadi negara yang maju dan rakyatnya akan mampu mengagungkan nama harum negaranya di dunia internasional.
Cita-cita yang keempat ialah untuk terciptanya keadilan sosial. Sehingga tidak akan ditemukannya lagi ketimpangan-ketimpangan ekonomi dalam kesemua masyarakatnya, sehingga ketidak-adilan pada masa orde baru seperti perhatian terhadap status kekayaan pada seseorang akan terhapuskan. Hal ini jelas-jelas telah menyinggung hak asasi manusia dan tidak layak untuk dijadikan sebagai pegangan.
Harapan saya, Indonesia dalam kegiatan ekonominya mengikuti jejak ekonomi terpimpin. Dan Indonesia dapat berubah menjadi wujudnya yang sejahtera, masyarakat yang ada di dalamnya akan makmur sejahtera dan diakui kesejahteraannya oleh dunia Internasional, sehingga Indonesia tidak gampang diremehkan oleh negara lain seperti sekarang ini, baik dalam hal ekonomi maupun birokrasinya. Selain itu juga dapat mengambil kembali gelar Macan Asia yang sudah sempat terkembang pada zaman pemerintahan orde baru.
REFERENSI
Abdul Hadi WM. Diakses dari the Djalal center
Nugroho SBM, SE, MSP. Harian Suara Merdek

pendapatan negara indonesia

Pendapatan Negara Indonesia






Sektor Pariwisata Jadi Andalan Devisa Terbesar Negara

Kendari (ANTARA News) – Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Iptek Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Titien Soekarya mengatakan sektor kepariwisataan saat ini menjadi satu-satunya andalan pemerintah sebagai sumber penerimaan devisa negara terbesar.


“Sektor pariwisata dijadikan andalan sumber devisa negara oleh pemerintah, karena tidak mengeksploitasi sumber daya alam,” katanya, di Kendari, Kamis.
Menurut dia, sektor pariwisata bisa mendatangkan devisa negara dalam jumlah besar hanya dengan menjual keindahan alam atau keanekaragaman budaya kepada para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara, tanpa mengambil sesuatu dari alam.
Artinya, kata dia, pengelola kepariwisataan hanya mengeksploitasi keindahan alam suatu daerah atau keragaman budayanya, tanpa mengurangi apa pun yang disediakan oleh alam.
“Kekuatan pariwisata dalam menyedot devisa negara terletak dari kemampuan pengelola dalam mengemas dan memasarkan objek wisata kepada para wisataan,” katanya.
Menurut dia, ketika wisatawan tertarik mengunjungi daerah tujuan wisata, maka devisa negara mulai mengalir.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah pusat melalui Kembudpar mulai 2010 mencoba menggulirkan program Desa Wisata, yakni program memberdayakan masyarakat desa yang bermukim di sekitar kawasan objek wisata.
“Melalui program ini warga desa diberi pemahaman dan pengetahuan, bagaimana melayani dan menyediakan kebutuhan bagi wisatawan. Pada saat yang sama, warga juga diberdayakan, dengan memanfaatkan berbagai potensi sumber daya ayam yang ada di desa mereka,” katanya.
Khusus pemberdayaan warga desa, menurut Titin, pada 2010 Kembudpar memberikan dana melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandi Pariwisata sebesar Rp 100 juta per desa. Dana tersebut disalurkan langsung ke rekening kelompok masyarakat yang dipercaya untuk mengembangkan usaha-usaha ekonomi produktif di desa mereka.
Di Sultra sendiri, kata dia ada delapan desa yang ditunjuk menjadi desa wisata. Dari delapan desa tersebut salah satunya dijadikan projek percontohan oleh Kembudpar, yakni Desa Toronipa di Kabupaten Konawe.
“Diharapkan pemerintah daerah menangani desa-desa yang dijadikan desa wisata ini, secara lintas sektoral. Artinya, apa yang menjadi kendala di desa tersebut ditangani langsung oleh pemerintah setempat,” katanya.
Menurut dia, di lokasi obyek wisata di sekitar desa wisata, tidak boleh lagi ada invetor, baik nasional, maupun asing mendirikan usaha perhotelan maupun restoran.


Untuk tempat menginap atau makan para wisatawan, cukup memanfaatkan rumah-rumah penduduk warga setempat.
“Tugas Pemerintah daerah, memasilitasi warga agar menyiapkan kamar-kamar rumah mereka dan kamar mandi, seperti tempat tidur di hotel, sehingga bisa disewakan kepada para wisatawan. Halaman rumah, juga harus ditata rapi dan bersih, sehingga kelihatan indah dan nyaman,” katanya. (ANT227/K004
kre4tif.wordpress.com

kemiskinan di indonesia

kemiskinan di indonesia


Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan


SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya
penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.

kre4tif.wordpress.com

distribusi perekonomian indonesia

Distribusi Perekonomian Indonesia


DISTRIBUSI SPASIAL UKM DI MASA KRISIS EKONOMI
PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati  sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan  dalam  ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen  dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM  kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting  keberadaan UKM  (Berry, dkk, 2001).  Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar.  Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Alasan yang ketiga yang dikemukakan Berry dkk di atas  sangat  relevan dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi. Aspek fleksibilitas  tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil  studi Akatiga berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan   Akatiga tersebut seperti dikutip Berry dkk (2001) adalah  bahwa  usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula  yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.

Sementara itu, berdasarkan data PDRB,  krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa  mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut).  Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah,  hanya  Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi.  Pada tahun tersebut,  seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).
Demikianlah, selain  ekonominya mengalami kontraksi terparah, usaha kecil di propinsi-propinsi di pulau Jawa juga lebih menderita akibat krisis ekonomi.  Sementara itu,  menurut hasil analisis Watterberg, dkk (1999),  dampak sosial dari krisis ekonomi  amat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan di Jawa, serta sejumlah propinsi di Indonesia bagian Timur.   Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya dimensi spasial dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.
Dalam konteks UKM, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dimunculkan adalah apakah krisis ekonomi betul-betul membawa pengaruh pada dinamika spasial UKM? Tulisan ini hanya mengamati salah satu aspek  saja dari dinamika spasial UKM, yakni distribusi spasialnya.  Dapat dikemukakan bahwa selama ini sejumlah studi sudah dilakukan untuk mengamati  distribusi spasial industri manufaktur, khususnya yang berskala besar dan  menengah, misalnya Azis (1994), Hill (1996), Kuncoro (2000a), Sjöberg dan Sjöholm (2002). Namun, pengamatan serupa terhadap UKM tampaknya  masih belum banyak dilakukan (Kuncoro, 2000b).
BERTAHAN DENGAN UKM
Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan  kalau pengangguran, hilangnya  penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi.  Hasil survei  yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 1998) menegaskan bahwa  ketiga persoalan itu  oleh  masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau  harus segera mendapatkan penyelesaian (Watterberg dkk, 1999).  Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.
Kondisi ketenagakerjaan  pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi (Tabel 1). Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1.  Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.
Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi.  Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi (Kompas. 14/12/2001). Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya  sebagian besar  bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru.  Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya  dalam meminimalkan  dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya  persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.
UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal.  Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan.  Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar? Bukan tidak  mungkin produk-produk  UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika demikian halnya maka kecenderungan tersebut  sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.
Data UKM tersebut bersumber dari publikasi BPS berjudul  Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia tahun 1998 dan tahun 2000.Hasil survei tersebut hanya  mencakup  UKM non-pertanian yang tidak berbadan hukum sehingga secara konseptual hasil survei tersebut  juga merefleksikan sektor informal kendati secara terbatas (www.bps.go.id). Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka data yang ada di sini barangkali pula  lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Perlu ditambahkan bahwa pada tahun 1997 tidak ada survei.   Selain itu, untuk tahun 1999 dan 2000 tidak ada data untuk Propinsi Maluku.  Selanjutnya, yang dimaksud dengan UKM dalam tulisan ini adalah sebagaimana definisi UKM tersebut.
Secara umum, hasil survei BPS di atas menunjukkan beberapa kecenderungan menarik. Dari gambar 1 tampak bahwa jumlah unit usaha UKM cenderung berkurang. Jumlah unit usaha pada tahun 2000 masih tetap lebih sedikit dibandingkan sebelum krisis ekonomi.  Hal yang sama juga terjadi pada jumlah tenaga kerja. Hanya saja, penurunan jumlah tenaga kerja tidaklah setajam penurunan jumlah unit usaha.   Oleh karena itu, tenaga kerja yang diserap oleh masing-masing unit usaha secara rata-rata justru mengalami kenaikan. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa UKM sebetulnya juga  mempunyai keunggulan dalam menyerap tenaga kerja di masa krisis ekonomi. Krisis ekonomi rupanya telah mempertinggi kemampuan masing-masing UKM untuk menyerap tenaga kerja.  Dengan kata lain, sektor  tersebut telah turut berperan dalam mengatasi persoalan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.
Data-data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa UKM memiliki kemampuan untuk menjadi pilar penting bagi perekonomian masyarakat dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi. Hal ini tidak lepas dari  kemampuan UKM untuk merespon krisis ekonomi secara cepat dan fleksibel  dibandingkan kemampuan usaha besar (Berry dkk, 2001). Namun demikian, ada pendapat bahwa sektor informal tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para pekerjanya. Hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Basri, 2002).

DISTRIBUSI SPASIAL UKM
Pertanyaan awal yang perlu diperjelas di sini adalah apa indikator UKM yang digunakan. UKM pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi sementara  aktivitas ekonomi sendiri secara umum dapat diindikasikan oleh tenaga kerja maupun nilai tambahnya (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Dalam tulisan ini, indikator yang akan digunakan adalah tenaga kerja UKM disertai jumlah unit usahanya sebagai pelengkap.
Dalam konteks industri manufaktur, penggunaan tenaga kerja dan nilai tambah secara bersama-sama sebagai  indikator  aktivitas ekonomi  dapat mencegah terjadi kesimpulan yang bias oleh karena perbedaan distribusi spasial dari industri-industri yang berbeda dimana ada yang bersifat padat tenaga kerja dan ada yang padat modal (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Namun dalam konteks UKM, bias itu mungkin tidak terlalu besar mengingat sebagian besar lebih mengandalkan tenaga kerja, termasuk yang tidak dibayar (lihat, Kuncoro, 2000a).
Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah, distribusi spasial UKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di Pulau Jawa.  Pada tahun 1996, sekitar  66 persen UKM Indonesia berada di Jawa (Tabel 2). Sejak terjadi  krisis ekonomi, UKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68 persen dari seluruh unit usaha UKM yang ada di Indonesia.  Dari lima propinsi di Jawa, hanya DKI Jakarta saja yang cenderung mengalami penurunan andil, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung. Selain  propinsi-propinsi Jawa, hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang andilnya dalam jumlah UKM cukup tinggi.
Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial tersebut tentu perlu pula dilihat dari sisi tenaga kerja. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa  krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66 persen pada tahun 2000. Sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16 persen pada tahun 2000.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat, perkembangan penyebaran regional dari UKM dapat dilihat dari konsentrasi spasialnya. Konsentrasi spasial di sini menunjuk kepada terkonsentrasinya UKM pada beberapa daerah saja.  Sebagai contoh, dalam  studinya  yang mengukur trend konsentrasi spasial industri di Indonesia 1976-1995, Kuncoro menggunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2000a).  Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser.
Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia.  Masih menurut Kuncoro (2002b), dalam kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial industri manufaktur.
Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser terhadap data tenaga kerja maupun nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur. Kesimpulan  yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Kuncoro.  Dari analisisnya, Sjöberg dan Sjöholm memukan bahwa tingkat konsentrasi spasial industri manufaktur dalam kurun waktu 1980-1996 tidaklah berkurang. Ditambahkan pula  bahwa liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1983 telah gagal menurunkan tingkat konsentrasi industri manufaktur.
Kendati ukuran konsentrasi spasial yang digunakan berbeda, kedua studi tersebut di atas memperoleh kesimpulan yang relatif serupa.  Dalam tulisan  ini   ukuran konsentrasi spasial yang digunakan  adalah indeks Herfindahl yang diterapkan baik terhadap data unit usaha maupun jumlah pekerja UKM.  Hasil perhitungan indeks Herfindahl tersebut disajikan dalam Gambar 3.
Sebelum krisis, tingkat konsentrasi spasial unit usaha UKM adalah 0,126. Sebagai perbandingan, indeks Herfindahl industri manufaktur Indonesia tahun 1996 adalah 0,190 (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Hal ini tidak berubah banyak pada satu tahun setelah terjadi krisis ekonomi. Namun pada tahun 1999 konsentrasi spasial unit usaha UKM  mengalami peningkatan cukup tinggi dan belum menurun secara berarti pada tahun 2000.  Namun jika dilihat dari tenaga kerja, setelah krisis justru terjadi penurunan tingkat konsentrasi spasial kendati relatif kecil. Tahun 1999 dan 2000, indeks Herfindahl pekerja UKM meningkat menjadi lebih dari 0,12. Hal ini memberikan indikasi bahwa sejak terjadi krisis ekonomi, ada kecenderungan menguatnya konsentrasi spasial UKM di Indonesia. Kendati demikian, peningkatan konsentrasi spasial tersebut sebetulnya relatit tidak terlalu besar.
PENUTUP
Sejak terjadi krisis ekonomi 1997,  UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan.  Data yang ada menunjukkan  bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati.  Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa  sampai dengan tahun 2000,  UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa,   baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya  konsentrasi spasial UKM  tersebut sejak  krisis ekonomi melanda Indonesia. Indikasi tersebut  kiranya masih perlu dilengkapi dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika spasial UKM sebagaimana dilakukan dalam studi-studi terhadap idustri manufaktur pada umumnya.

Distribusi Perekonomian Indonesia

Posted: Maret 14, 2011 by sh0likin in Uncategorized
DISTRIBUSI SPASIAL UKM DI MASA KRISIS EKONOMI
PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati  sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan  dalam  ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen  dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM  kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting  keberadaan UKM  (Berry, dkk, 2001).  Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar.  Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Alasan yang ketiga yang dikemukakan Berry dkk di atas  sangat  relevan dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi. Aspek fleksibilitas  tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil  studi Akatiga berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan   Akatiga tersebut seperti dikutip Berry dkk (2001) adalah  bahwa  usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula  yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.

Sementara itu, berdasarkan data PDRB,  krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa  mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut).  Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah,  hanya  Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi.  Pada tahun tersebut,  seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).
Demikianlah, selain  ekonominya mengalami kontraksi terparah, usaha kecil di propinsi-propinsi di pulau Jawa juga lebih menderita akibat krisis ekonomi.  Sementara itu,  menurut hasil analisis Watterberg, dkk (1999),  dampak sosial dari krisis ekonomi  amat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan di Jawa, serta sejumlah propinsi di Indonesia bagian Timur.   Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya dimensi spasial dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.
Dalam konteks UKM, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dimunculkan adalah apakah krisis ekonomi betul-betul membawa pengaruh pada dinamika spasial UKM? Tulisan ini hanya mengamati salah satu aspek  saja dari dinamika spasial UKM, yakni distribusi spasialnya.  Dapat dikemukakan bahwa selama ini sejumlah studi sudah dilakukan untuk mengamati  distribusi spasial industri manufaktur, khususnya yang berskala besar dan  menengah, misalnya Azis (1994), Hill (1996), Kuncoro (2000a), Sjöberg dan Sjöholm (2002). Namun, pengamatan serupa terhadap UKM tampaknya  masih belum banyak dilakukan (Kuncoro, 2000b).
BERTAHAN DENGAN UKM
Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan  kalau pengangguran, hilangnya  penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi.  Hasil survei  yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 1998) menegaskan bahwa  ketiga persoalan itu  oleh  masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau  harus segera mendapatkan penyelesaian (Watterberg dkk, 1999).  Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.
Kondisi ketenagakerjaan  pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi (Tabel 1). Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1.  Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.
Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi.  Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi (Kompas. 14/12/2001). Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya  sebagian besar  bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru.  Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya  dalam meminimalkan  dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya  persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.
UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal.  Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan.  Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar? Bukan tidak  mungkin produk-produk  UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika demikian halnya maka kecenderungan tersebut  sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.
Data UKM tersebut bersumber dari publikasi BPS berjudul  Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia tahun 1998 dan tahun 2000.Hasil survei tersebut hanya  mencakup  UKM non-pertanian yang tidak berbadan hukum sehingga secara konseptual hasil survei tersebut  juga merefleksikan sektor informal kendati secara terbatas (www.bps.go.id). Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka data yang ada di sini barangkali pula  lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Perlu ditambahkan bahwa pada tahun 1997 tidak ada survei.   Selain itu, untuk tahun 1999 dan 2000 tidak ada data untuk Propinsi Maluku.  Selanjutnya, yang dimaksud dengan UKM dalam tulisan ini adalah sebagaimana definisi UKM tersebut.
Secara umum, hasil survei BPS di atas menunjukkan beberapa kecenderungan menarik. Dari gambar 1 tampak bahwa jumlah unit usaha UKM cenderung berkurang. Jumlah unit usaha pada tahun 2000 masih tetap lebih sedikit dibandingkan sebelum krisis ekonomi.  Hal yang sama juga terjadi pada jumlah tenaga kerja. Hanya saja, penurunan jumlah tenaga kerja tidaklah setajam penurunan jumlah unit usaha.   Oleh karena itu, tenaga kerja yang diserap oleh masing-masing unit usaha secara rata-rata justru mengalami kenaikan. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa UKM sebetulnya juga  mempunyai keunggulan dalam menyerap tenaga kerja di masa krisis ekonomi. Krisis ekonomi rupanya telah mempertinggi kemampuan masing-masing UKM untuk menyerap tenaga kerja.  Dengan kata lain, sektor  tersebut telah turut berperan dalam mengatasi persoalan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.
Data-data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa UKM memiliki kemampuan untuk menjadi pilar penting bagi perekonomian masyarakat dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi. Hal ini tidak lepas dari  kemampuan UKM untuk merespon krisis ekonomi secara cepat dan fleksibel  dibandingkan kemampuan usaha besar (Berry dkk, 2001). Namun demikian, ada pendapat bahwa sektor informal tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para pekerjanya. Hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Basri, 2002).

DISTRIBUSI SPASIAL UKM
Pertanyaan awal yang perlu diperjelas di sini adalah apa indikator UKM yang digunakan. UKM pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi sementara  aktivitas ekonomi sendiri secara umum dapat diindikasikan oleh tenaga kerja maupun nilai tambahnya (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Dalam tulisan ini, indikator yang akan digunakan adalah tenaga kerja UKM disertai jumlah unit usahanya sebagai pelengkap.
Dalam konteks industri manufaktur, penggunaan tenaga kerja dan nilai tambah secara bersama-sama sebagai  indikator  aktivitas ekonomi  dapat mencegah terjadi kesimpulan yang bias oleh karena perbedaan distribusi spasial dari industri-industri yang berbeda dimana ada yang bersifat padat tenaga kerja dan ada yang padat modal (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Namun dalam konteks UKM, bias itu mungkin tidak terlalu besar mengingat sebagian besar lebih mengandalkan tenaga kerja, termasuk yang tidak dibayar (lihat, Kuncoro, 2000a).
Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah, distribusi spasial UKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di Pulau Jawa.  Pada tahun 1996, sekitar  66 persen UKM Indonesia berada di Jawa (Tabel 2). Sejak terjadi  krisis ekonomi, UKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68 persen dari seluruh unit usaha UKM yang ada di Indonesia.  Dari lima propinsi di Jawa, hanya DKI Jakarta saja yang cenderung mengalami penurunan andil, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung. Selain  propinsi-propinsi Jawa, hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang andilnya dalam jumlah UKM cukup tinggi.
Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial tersebut tentu perlu pula dilihat dari sisi tenaga kerja. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa  krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66 persen pada tahun 2000. Sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16 persen pada tahun 2000.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat, perkembangan penyebaran regional dari UKM dapat dilihat dari konsentrasi spasialnya. Konsentrasi spasial di sini menunjuk kepada terkonsentrasinya UKM pada beberapa daerah saja.  Sebagai contoh, dalam  studinya  yang mengukur trend konsentrasi spasial industri di Indonesia 1976-1995, Kuncoro menggunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2000a).  Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser.
Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia.  Masih menurut Kuncoro (2002b), dalam kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial industri manufaktur.
Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser terhadap data tenaga kerja maupun nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur. Kesimpulan  yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Kuncoro.  Dari analisisnya, Sjöberg dan Sjöholm memukan bahwa tingkat konsentrasi spasial industri manufaktur dalam kurun waktu 1980-1996 tidaklah berkurang. Ditambahkan pula  bahwa liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1983 telah gagal menurunkan tingkat konsentrasi industri manufaktur.
Kendati ukuran konsentrasi spasial yang digunakan berbeda, kedua studi tersebut di atas memperoleh kesimpulan yang relatif serupa.  Dalam tulisan  ini   ukuran konsentrasi spasial yang digunakan  adalah indeks Herfindahl yang diterapkan baik terhadap data unit usaha maupun jumlah pekerja UKM.  Hasil perhitungan indeks Herfindahl tersebut disajikan dalam Gambar 3.
Sebelum krisis, tingkat konsentrasi spasial unit usaha UKM adalah 0,126. Sebagai perbandingan, indeks Herfindahl industri manufaktur Indonesia tahun 1996 adalah 0,190 (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Hal ini tidak berubah banyak pada satu tahun setelah terjadi krisis ekonomi. Namun pada tahun 1999 konsentrasi spasial unit usaha UKM  mengalami peningkatan cukup tinggi dan belum menurun secara berarti pada tahun 2000.  Namun jika dilihat dari tenaga kerja, setelah krisis justru terjadi penurunan tingkat konsentrasi spasial kendati relatif kecil. Tahun 1999 dan 2000, indeks Herfindahl pekerja UKM meningkat menjadi lebih dari 0,12. Hal ini memberikan indikasi bahwa sejak terjadi krisis ekonomi, ada kecenderungan menguatnya konsentrasi spasial UKM di Indonesia. Kendati demikian, peningkatan konsentrasi spasial tersebut sebetulnya relatit tidak terlalu besar.
PENUTUP
Sejak terjadi krisis ekonomi 1997,  UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan.  Data yang ada menunjukkan  bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati.  Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa  sampai dengan tahun 2000,  UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa,   baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya  konsentrasi spasial UKM  tersebut sejak  krisis ekonomi melanda Indonesia. Indikasi tersebut  kiranya masih perlu dilengkapi dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika spasial UKM sebagaimana dilakukan dalam studi-studi terhadap idustri manufaktur pada umumnya
kre4tif.wordpress.com


________________________________________